Salah satu jenis konten kreator yang marak adalah Food Vlogger. Menjadi food vlogger memang mudah, kita sehari makan 3 kali, dengan berpindah makan di 3 tempat, kita sudah memiliki 3 konten video yang bisa di upload ke sosial media. Mudah dan biayanya murah.
Tetapi dibalik kemudahan membuat konten makanan, ada banyak orang yang dibuat repot dan rugi karena konten kreator ini tidak bertanggung jawab dengan resiko konten yang dibuatnya.
Jika review yang diberikan ke tempat makan tersebut bernilai bagus, maka bisa membuat bisnis makanan melejit dan viral. Tetapi jika sebaliknya, maka bisa membuat bisnis makanan tersebut dengan cepat bisa gulung tikar.
Seperti yang beberapa hari ini diberitakan detik.com, sejumlah pelaku usaha memboikot seorang food vlogger karena memberikan review buruk ke sebuah warung makan sehingga menyebabkan warung makan tersebut tutup. Padahal food vlogger tersebut dianggap tidak memiliki “ilmu” tentang makanan dan kuliner, sehingga review-nya dianggap ngawur.
Banyak pembaca yang mengomentari apa yang dilakukan oleh food vlogger ini sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab, tetapi ada juga yang membela karena tindakan itu adalah ungkapan jujur seorang pembeli terhadap makanan yang dibeli.
Sebenarnya, untuk menjadi food vlogger tidak hanya bermodal bisa bicara di depan kamera, tetapi seharusnya diikuti dengan pengetahuan yang mendalam mengenai makanan yang ada di depannya, sehingga review yang diberikan juga merupakan review yang tidak hanya berasal dari satu sisi, tetapi merupakan rangkuman dari banyak sisi.
Apalagi berkaitan dengan makanan yang sangat tergantung selera, selera ini sangat subyektif sesuai masing – masing, tidak bisa penilaian 1 orang dijadikan rujukan untuk menjadikannya sebagai keseluruhan penilaian. Hal ini yang tidak dipahami oleh pemirsa video tersebut, seorang food vlogger yang memberi penilaian buruk di suatu makanan, akan membuat netizen semua menilai buruk terhadap makanan tersebut. Padahal belum tentu seperti itu.
Kebijaksanaan dibutuhkan dalam hal ini, termasuk juga tanggung jawab dengan memikirkan resiko terhadap konten yang dibuatnya. Banyak konten kreator yang asal buat video demi meraih popularitas, padahal konten tersebut bisa mempengaruhi orang lain. Dengan alasan kejujuran tetapi menyakitkan orang lain, tentu sebuah kejujuran yang tidak pada tempatnya.
Kami teringat dengan salah satu selebriti tanah air yang menyatakan dia tidak akan menayangkan video yang dibuat jika dia tidak suka dengan makanan yang dimakan, sehingga dia hanya akan menampilkan video – video dengan review baik saja. Dengan demikian, jika penilaian selebriti ini tidak baik, orang lain tidak akan tahu tempat makan mana yang dikunjungi selebriti tersebut.
Meskipun kabarnya food vlogger ini sudah minta maaf, tetapi warung makan tersebut sudah terlanjur tutup, ibarat nasi sudah jadi bubur, apakah bisa mengembalikan yang sudah rusak? apakah warung makan tersebut bisa buka lagi dengan seperti semula? Nampaknya tidak mungkin.
Kabar terakhir, food vlogger ini sudah menutup semua akun media sosialnya, termasuk video – videonya akibat tidak tahan dengan hujatan dari netizen.
Itulah karma, merusak bisnis orang justru akibatnya berbalik ke diri sendiri. Oleh karena itu, sebelum membuat konten dan menayangkannya harus dipikir resikonya.