AI telah merevolusi dunia dengan kemampuannya belajar dan menggantikan manusia untuk banyak pekerjaan penting. Bagaimana pekerjaan – pekerjaan yang dulunya sulit dan hanya orang tertentu saja yang mampu melakukannya, saat ini menjadi sangat mudah berkat AI.
Dosen menjadi khawatir dengan mahasiswanya yang mengerjakan tugas dibantu AI, penulis freelance juga khawatir kalau pekerjaannya diambil alih AI, bahkan media sosial pun dibanjiri konten – konten yang dibuat dengan AI, sehingga kita kesulitan membedakan mana konten original dan mana konten buatan AI.
Tetapi ada pertanyaan menggelitik, apakah AI bisa memproduksi konten lucu? atau apakah AI bisa melakukan stand up comedy? Untuk bisa memproduksi konten lucu pasti AI bisa, tetapi apakah konten tersebut bisa membuat manusia pemirsanya tergelak dan terbahak – bahak, itu yang masih dipertanyakan.
Melansir artikel di BBC.com, beberapa ahli mengingatkan bahwa AI bisa mencapai titik dimana benar – benar mengungguli kecerdasan manusia, teknologi hipotetis yang dikenal sebagai “artificial general intelligence” (AGI).
Tetapi di bidang seni, masih bisa diperdebatkan apakah AI generatif , berdasarkan sifatnya, dapat benar-benar kreatif. Large language models (LLM) seperti ChatGPT bekerja dengan memproses miliaran baris teks yang diambil dari internet dan sumber lain, membongkar pola dan hubungan antara kata dan kalimat.
Dengan menggunakan data tersebut, AI menghasilkan respons yang, secara statistik, merupakan jawaban yang paling mungkin untuk perintah yang diberikan. Itu berarti alat AI ini hanya dapat mereplikasi informasi yang sudah ada dalam beberapa bentuk, meskipun dapat menghasilkan kombinasi ide yang belum pernah terlihat sebelumnya. Apakah itu kreatifitas AI? masih jadi bahan perdebatan.
Seni membutuhkan sentuhan “manusia” yang tidak hanya membutuhkan “logika” dan hubungan sebab akibat, tetapi ada sentuhan “perasaan” yang mungkin masih belum ada di teknologi AI.
“Perasaan” ini tidak harus logis, tidak harus melalui sebab akibat tetapi merupakan “rasa” yang sama antar manusia, sehingga jika ada seseorang yang menyampaikan hal lucu dan sesuai dengan “perasaan” pendengarnya, maka pendengar ini akan langsung tertawa secara spontan.
Misalnya seorang siswa melucu di depan kelas dan membicarakan gerak gerik gurunya, teman – teman yang lain pasti akan tertawa karena masing – masing sama – sama tahu tentang gurunya tersebut. Tetapi jika lelucon yang sama disampaikan di depan ruang guru, pasti reaksinya akan sangat berbeda, bukannya tertawa, justru akan jadi malapetaka bagi siswa tersebut.
Nah… bisakah AI membedakan “suasana” lucu dan suasana “tidak lucu”? Masih diperdebatkan. Paling tidak, sampai saat ini, para pekerja seni masih bisa tidur nyenyak karena masih belum bisa digantikan oleh AI, tetapi tidur nyenyak ini mungkin tidak akan berlangsung lama, perkembangan AI yang pesat mungkin saja akan menggusur mereka.